Anger
Tidak ada kata yang mampu menjelaskan betapa hancurnya Metawin malam ini. Tangisan dan amarah seolah menyatu, menguasai dirinya. Persis seperti beberapa bulan yang lalu, menangis seorang diri. Memori pahit yang seakan kembali terjadi dalam hidupnya. Seolah semesta hanya memberinya kebahagiaan tak lebih dari satu minggu.
Metawin tak pernah menyangka, ketulusan hatinya akan dibalas dengan ribuan duri yang pernah Ia rasakan sebelumnya. Hati yang sejatinya belum sembuh, harus kembali terluka akibat keputusannya. Keputusan yang Ia anggap benar, justru menjadi jebakan yang semakin memperdalam lukanya.
Tak satupun orang yang tau, semua yang Ia rasakan tersimpan rapih dibalik senyum manisnya. Kegundahan hati yang tak kunjung berakhir, cukup Ia rasakan sendiri. Air mata yang entah kapan akan berhenti, hanya Ia rasakan sendiri.
Hanyut dalam kesedihan, Metawin tak sedikitpun menyadari kehadiran Bright yang kini berdiri di ambang pintu kamarnya. Dengan kedua mata yang menatapnya tajam, begitu nyalang seakan siap menerkam mangsanya. Dengan langkah lebar, Ia mendekati sosok manis yang kondisinya begitu menyedihkan.
GREP.
“AH! SAKIT!”
Metawin memekik kuat, saat pergelangan tangannya ditarik kasar oleh Bright. Bahkan Ia seolah tak diberi kesempatan untuk berpikir kapan Bright masuk ke dalam kamarnya.
Yang Metawin tau, amarah Bright tak lagi terkendali.
“BRI, LEPAS!!”
“DENGERIN GUE! SATU MINGGU, GUE MATI-MATIAN CARI INFO TENTANG KYRA, DEMI NGEBONGKAR KELAKUAN DIA. SATU MINGGU, GUE NGGA TIDUR DEMI PASTIIN KYRA NGGA MACEM-MACEM SAMA LO.”
“LO TAU, GUE HAMPIR GILA KARNA SATU MINGGU HARUS BENER-BENER IKUTIN PERMAINAN KYRA?!!”
Bright menghempas kuat tangan Metawin dari genggamannya. Ia sadar telah melebihi batas, hingga memperlakukan Metawin dengan begitu kasar.
“Sakit...”
“Sakit, Bri...”
Lirih, nyaris tak terdengar. Metawin merasakan sakit yang luar biasa pada sekujur tubuhnya. Bahkan tubuhnya masih mampu mengingat benturan keras saat kecelakaan mobil yang Ia alami pagi tadi. Namun Bright seolah tak peduli dan lebih mementingkan amarahnya.
Sementara itu, Bright terlihat memejamkan mata beberapa saat seraya mengepalkan erat kedua tangannya. Berusaha menekan emosinya yang kian sulit terkendali. Tidak, Bright tak akan membiarkan emosinya mengusai akal sehatnya malam ini. Ia tak pernah sekalipun menjadikan Metawin sebagai pelampiasan amarahnya.
Tidak. Jangan sampai. Bright terlalu buruk dalam menangani amarahnya. Metawin pun tau itu.
“Satu minggu, gue kepikiran ninggalin lo tanpa kabar. Gue lakuin itu semua demi ngikutin permainan Kyra, Win. Satu-satunya cara yang paling gampang buat dapetin rasahasia dia. Gue harus pura-pura ngga peduli sama lo. Lo kira gue bisa lakuin itu semuanya dengan gampang??”
“Ngga, Win. Demi Tuhan, gue tersiksa sama permainan Kyra. Seminggu gue stress proyek dosen, stress mikirin lo yang udah pasti makin benci sama gue. Ditambah gue harus terus ngikutin Kyra. Terus apa? Sekarang lo segampang itu ngerendahin gue??”
Bright mendengus, amarahnya sedikit berkurang. Meski degup jantungnya masih terpacu kuat. Setidaknya Bright tidak lagi membahayakan lawan bicaranya. “Lo bilang gue main sama Kyra? Ngehamilin Kyra? Rendah banget ya gue di mata lo selama ini.”
Metawin diam bukan karena Ia mengaku kalah. Melainkan Ia menahan sakit pada kaki kanannnya setelah Bright menariknya dari ranjang dengan kasar. Menangis pun percuma, Bright tak akan peduli padanya.
“Win, gue tau kesalahan gue sama lo terlalu banyak. Bahkan sampe gue mati pun, ngga akan bisa lo lupain. Gue tau, tanpa lo bilang sebejat apa kelakuan gue. Emang dari awal gue yang salah.”
“Gue yang sayang duluan sama lo. Gue juga yang ninggalin lo, semua sakit hati yang lo rasain juga karena gue.”
Bright melihat jelas, tubuh Metawin bergetar hebat sambil mengusap lututnya. Perlahan Ia mendekat, lalu berjongkok di hadapan kaki kanan Metawin.
“Gue minta maaf. Dari awal cuma bisa bikin lo sakit. Iya, gue brengsek, gue bajingan, gue bejat. Semua yang lo bilang, bener kok.”
“Tapi hati gue tulus, sayang sama lo.”
Perlahan, Bright mengusap lembut bagisan lutut Metawin yang memerah. Hingga si empunya meringis pelan.
“Bentar lagi, gue selesai kok sama Kyra. Gue cuma perlu tau siapa cowonya dia.”
“Tadinya, mau gue selesaiin semuanya cepet. Biar gue bisa fokus sama lo. Tapi kayanya ngga guna juga buat lo. Tenang aja, dua atau tiga hari lagi gue kasih tau nama cowok yang selalu kasih foto lo ke kyra.”
Ucapan Bright terjeda, Ia meniup pelan lutut Metawin. Sebisa mungkin Ia bantu untuk mengurangi rasa sakit akibat kebodohannya. Ia enggan menatap lawan bicaranya, terlalu sakit untuk bertatapan langsung dengan netra Metawin.
“Gue ngga pernah nginep di rumah Kyra, satu minggu kemarin. Siang gue sama Kyra, sorenya udah balik. Gue masih punya otak untuk jaga perasaan lo. Meskipun percuma juga akhirnya.”
“Oh iya, gue juga ngga pernah main seks sana sini kok. Terserah mau percaya atau ngga.”
Kini, Bright beranjak. Lalu mengusap air mata Metawin sekilas. Kemudian mundur beberapa langkah. “Makasih ya udah jagain gue di rumah sakit. Kalo mau pergi, pergi aja. Gue janji, ngga akan nyariin lo lagi pas sekarat.”
“Maaf kemarin kelamaan ninggalin. Terserah kalo misal lo ngga mau liat usaha gue, itu hak lo.”
Bright menarik nafasnya yang begitu sesak, lalu kembai menatap sekilas ke arah Metawin yang masih terisak dalam diam.
“Maaf ya. Sekali lagi, gue minta maaf. Makasih, Win. Makasih udah sayang sama gue.”
Dengan begitu, Bright keluar dari kamar Metawin. Mengakhiri semuanya, dengan kisah yang menggantung. Tidak, Bright tidak akan berhenti membongkar kebusukan Kyra demi Metawin.
Yang Ia hentikan hanya mengusik kehidupan Metawin. Ia berjanji, akan mundur dari hidup Metawin. Dengan cintanya yang masih belum selesai.