For us
Satu tahun berlalu pasca malam itu. Malam saat segalanya berakhir, tanpa kesempatan untuk memperbaiki. Malam saat dua hati yang mencoba segala cara untuk bersatu, namun tak satupun berhasil.
Malam saat salah satu pihak menyerah. Melepas semua yang selama ini mati-matian Ia usahakan kembali.
Malam saat Metawin kehilang semua hal. Hal yang nyatanya tak lagi bersama dengan dirinya sejak empat tahun silam. Meski berat, Ia tak punya pilihan selain mengalah.
Mengalah demi menghindari sakit yang kian menyiksa diantara dirinya dan sang mantan suami.
Satu tahun, Metawin rasa cukup untuk menyembuhkan hati sekaligus batinnya yang kian rapuh. Rapuh? Entah, rapuh saja tak cukup untuk menggambarkan keadaan Metawin maupun Bright.
Selama satu tahun, Metawin benar-benar hidup berdampingan dengan kesengsaraan batin yang luar biasa menyiksa. Seolah kembali pada masa dirinya usai bercerai dengan Bright. Kembali menyembuhkan, memulihkan segalanya yang bahkan belum pulih seutuhnya namun harus kembali sakit.
Selama satu tahun pula, Bright berjuang mempertahankan hidupnya. Melawan penyakit yang bersarang menyiksa di jantungnya, akibat keputusan bodohnya setelah bercerai dengan Metawin. Nyatanya, apa yang Ia bayangkan tak sesuai dengan hasil akhir perjuangannya. Semuanya berjalan di luar kendali. Bright pun kembali rapuh.
Mempertaruhkan nyawa selama satu tahun, demi mewujudkan harapan terakhirnya, menemani Kai hingga tumbuh dewasa. Perjuangan yang tak mudah, segala macam pahit dan manis kehidupan perlahan Ia arungi seorang diri.
Demi Kai, Ia usahakan segala hal yang mungkin terjadi. Tak peduli serumit apapun caranya, tak peduli sekecil apapun kemungkinannya. Bright hanya ingin menghujani anak semata wayangnya dengan tulusnya kasih sayang serta cinta yang tiada akhir.
Perjalanan Bright maupun Metawin tak luput dari air mata yang seolah tak ada habisnya pasca malam itu. Sakit yang harus mereka sembuhkan seorang diri tanpa melibatkan siapapun pada setiap prosesnya.
Hingga akhirnya, baik Bright maupun Metawin sampai di ujung jalan, siap menemui puncak bahagia dalam hidupnya. Keyakinan masing-masing bahwa bahagia akan senantiasa menghampiri suatu saat nanti.
Hari itu pun tiba, menyambut Bright yang telah menyandang status pengusaha terkaya pada usia muda. Bangkitnya pria tampan itu dari segala keterpurukan yang menguburnya bersama penyesalan. Bahkan sempat terbesit untuk menyerah yang kesekian kalinya. Namun, kehadiran Kraisee Chivaaree selalu berhasil menuntunnya untuk kembali bangkit.
Hari yang sama pun telah menghampiri Metawin. Menjadi pemimpin perusahaan keluarganya sendiri, menggantikan ayah kandungnya pada posisi tertinggi. Usai melewati segala macam cara demi memulihkan trauma dan kegundahan hati, Metawin berhasil mendapatkan kembali kebahagiaannya bersama sang anak.
Ya, baik Bright maupun Metawin memutuskan untuk mengakhiri segalanya sejak malam itu. Tak lagi sama seperti sebelumnya, keduanya tak saling bertemu selama satu tahun penuh. Bahkan tak saling bertutur sapa, menjadikan semuanya terasa asing.
Meski dalam hati masing-masing, masih selalu terbesit doa untuk satu sama lain.
Satu tahun berlalu.
Berlalu pula masa lalu kelam yang terjadi pada kehidupan masing-masing. Bright maupun Metawin, telah kembali. Kembali menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Melupakan kegelapan pada masa lampau. Memaafkan segala kesalahan yang pernah terjadi di kehidupan masa lalu.
Metawin tak pernah sekalipun menyesal pernah hidup bersama dengan sosok tampan itu, ayah dari anak sematawayangnya. Pun dengan Bright, yang selalu menganggap bahwa Metawin tetap menjadi bagian terindah dari kehidupannya selama ini.
Baginya, tak akan ada masa depan yang indah tanpa masa lalu. Entah seburuk dan segelap apapun masa lalu, banyak pelajaran yang bisa keduanya petik untuk masa depan. Pelajaran yang mereka harap dapat membawa kehidupan masing-masing pada puncak kebahagiaan.
Satu tahun milik Bright, penuh duri dalam hidupnya.
Penuh rasa sakit. Fisik maupun psikisnya. Perjuangannya tak pernah mudah. Melawan segalanya seorang diri.
Jika diceritakan tentang satu tahun ini, mungkin akan terbayang sakitnya. Pengobatan yang harus berhenti beberapa kali karena tak memberikan efek menyembuhkan. Bright lelah, hingga menyalahkan segala jenis obat yang diberikan padanya. Menganggap semua usahanya sia-sia, hanya membuang waktu.
Namun kenyataannya, bukan metode pengobatannya yang salah. Justru kondisi psikologisnya yang seolah menghambat. Berbagai macam obat telah Ia konsumsi, tak satupun yang berhasil karena kondisi mental yang tak stabil.
Kata orang, sebanyak apapun obat yang masuk ke tubuh manusia, akan lambat bekerja jika psikologis manusia itu ikut sakit. Atau,
Stress berat, trauma, mental yang kurang stabil dapat memicu penyakit yang sudah ada, untuk semakin ganas. Entah itu benar atau hanya mitos, nyatanya, itu terjadi pada Bright.
Keputusan kedua orangtua Bright untuk membawanya pada Psikiater tak pernah salah. Hampir 4 bulan Ia menjalani pengobatan yang khusus untuk kesehatan jiwanya. Hampir 4 bulan pula, Bright belajar untuk berdamai dengan situasinya saat ini. Berdamai dengan masa lalu yang turut merusak kehidupannya. Berdamai dengan rasa penyesalan yang masih saja mengusik pikirannya.
Hingga 4 bulan berakhir, Bright kembali fokus menyembuhkan sakit pada fisiknya. Hasilnya? Berhasil, Bright sembuh. Ketika psikologisnya mulai stabil, kesehatan raganya pun ikut membaik. Bahkan 2 minggu yang lalu, Dokter menyatakan bahwa Bright tidak lagi membutuhkan obat-obatan.
Bright, berhasil mengakhiri masa kelamnya.
Sementara satu tahun milik Metawin, tak jauh berbeda.
Satu tahun pasca hari itu. Metawin terpuruk. Terpuruk untuk kedua kalinya setelah bercerai.
Luka yang belum sepenuhnya sembuh, harus kembali dihujam belati tajam hingga tak berbentuk. Jangan tanyakan bagaimana Mentalnya. Psikologisnya sudah cukup tidak stabil pasca perceraian, atau bahkan sebelumnya...
Seharusnya Ia terbiasa. Nyatanya, Metawin tak cukup kuat untuk kembali jatuh ke dalam jurang terdalam di hidupnya. Tanpa Ia tau, jalannya harus kembali pada arah yang sama. Tanpa Ia sadari, kegundahan hati dalam memilih akan membawanya kembali pada sakit yang sama. Kembali pada perpisahan, setelah usaha yang Ia lakukan untuk memperbaiki.
Metawin teramat hancur. Hingga tak mampu menjadi pegangan bagi sang anak. Ia terlalu rapuh untuk mengasuh Kai seorang diri. Jika tak ada Gulf, sosok yang nyatanya selalu ada untuk Metawin, entah akan seperti apa kisah hidup Metawin. Meski tak banyak yang Gulf lakukan, Metawin tetap berucap ribuan terima kasih untuknya.
Selama hampir 6 bulan, Gulf yang mengambil alih tugas Metawin dalam mengasuh Kai. Beruntung bagi Gulf, sang anak sambungnya tak pernah menyulitkan posisinya selama ini. Sesekali Gulf meminta Kai untuk menginap beberapa hari di tempat tinggalnya. Tak ada maksud lain, Gulf hanya memberikan waktu sendiri untuk Metawin.
Meski Gulf memberikan beberapa hari untuk Metawin tanpa Kai, Ia tak sedikitpun lepas pengawasan dari pria manis itu. Tak ingin terjadi sesuatu yang lebih mengerikan. Gulf selalu memperhatikan Metawin, baik secara langsung maupun tidak. Apakah Gulf pamrih? Jawabannya, tidak.
Ia tak berharap diberikan balasan dalam bentuk apapun dari Metawin dan keluarganya. Gulf sepenuh hati membantu Metawin. Tulusnya selalu Ia berikan untuk Metawin dan Kai. Ia tak peduli tentang dirinya sendiri.
Kebahagiaan Metawin dan Kai, adalah tujuan Gulf saat ini.
Hingga hari ini tiba. Pertama kali setelah satu tahun.
Bukan lagi sebuah rencana maupun wacana. Semuanya akan terjadi secara nyata hari ini. Bertemu kembali, dalam kebahagiaan. Pertemuan pertama setelah berhasil menyembuhkan diri masing-masing. Pertemuan pertama setelah keduanya menjadi pribadi yang jauh lebih baik.
“PAPA!”
Pekik bocah laki-laki kala netranya bertemu dengan sosok pria berpakaian rapih, khas orang penting suatu perusahaan.
Tak mau kalah antusias dengan sang anak, Bright senantiasa merentangkan kedua tangan untuk menyambut tubuh bocah laki-laki yang kini menginjak usia 5 tahun.
“Papa, I miss you.”
Ucap Kai saat tubuhnya menabrak sempurna pada tubuh kekar sang papa yang kini memeluknya begitu erat. Bright mengangguk, seraya mengusap lembut punggung Kai tiada henti. Rindunya tak kalah besar dari sang anak. Satu tahun tak bertemu, nyatanya teramat menyiksa batin Bright. Ia sangat merindukan Kai dalam pelukannya.
Semua rasa rindunya, terbayar lunas hari ini. Rindu yang tersampaikan melalui pelukan erat satu sama lain. Mengabaikan beberapa pasang mata yang ikut terharu melihat seorang anak memeluk erat leher ayah kandungnya yang lain. Kai tak peduli, Ia terus mengecupi seluruh sisi wajah tampan sang papa.
“I miss you too, sayang. Papa minta maaf karena baru bisa ketemu Kai sekarang. Maaf ya, papa is so sorry. “
Tanpa sadar, bulir bening jatuh dari mata indah Bright usai mengatakan permintaan maafnya pada sang anak. Bukan hanya Bright, Kai seolah mengerti isi hati pria yang memeluknya, hingga membuatnya turut menjatuhkan air mata.
Kai kembali memeluk erat Bright. Wajah mungil Kai bersembunyi nyaman pada perpotongan leher papanya. Hingga Bright sadar akan sesuatu. Kai tak mungkin datang sendiri. Lantas, atensinya terangkat pada satu sosok manis yang berdiri gugup di hadapannya.
“Hai.”
“H-hai ... Mas.”
Tidak, gugupnya Metawin tak lagi sama seperti dulu. Ia hanya gugup karena cukup lama tak bertemu dengan mantan suaminya. Tak bertemu cukup lama, namun masih sering mendengar kabarnya melalui beberapa media yang memberitakan kesuksesan pria tampan tersebut.
“Mau peluk?”
” —as a friend and Kai's parents. “ Lanjut Bright setelah menyadari raut terkejut Metawin.
Namun sepersekian detik kemudian, Ia merasakan tubuh Metawin sudah berada dalam pelukannya bersama dengan Kai yang masih dalam gendongannya.
Sangat erat. Seolah rindunya begitu berat.
” You did well, Meta. “
Bisik Bright tepat di samping indera pendengar Metawin. Si empunya pun tersenyum begitu manis sebelum melepas pelukan. Kini, keduanya saling melempar senyum penuh arti.
Bright bahagia, begitu juga dengan Metawin. Bahagia karena kembali bertemu, dengan Kai yang berada di tengah mereka. Bahagia karena keduanya berhasil menyembuhkan diri masing-masing.
Meski tak ada lagi cinta yang sama. Segalanya terasa berbeda. Bahagia, namun bukan karena cinta yang kembali merekah merah. Bright dan Metawin, merasa jalan yang mereka pilih adalah yang terbaik. Bahagia, tak harus saling memiliki. Namun keduanya tetap saling ada untuk Kai, anak sematawayang.
Status. Memutuskan memilih berjalan sendiri, pada jalan yang masing-masing pilih untuk menuju bahagia. Bahagia dengan caranya sendiri. Serta memutuskan untuk co-parenting.
Bahagia yang mereka ciptakan dengan alurnya masing-masing. Seperti Bright yang karirnya semakin meroket. Serta Metawin yang juga sukses dalam dunia bisnis dan telah resmi menikah dengan Gulf.
“Gulf mana, Ta?”
“Ada di mobil. Gak mau turun, takut ganggu katanya.”
Keduanya tertawa ringan sembari menemani Kai yang tengah asik menikmati es krim vanilla di tangannya. Suasana yang jauh dari bayangan Metawin. Pertemuannya dengan Bright berlangsung begitu hangat. Tak ada rasa canggung, pun tak ada rasa takut akn teringat masa lalu.
Semuanya berjalan begitu tenang. Layaknya bertemu sahabat yang terpisah cukup lama. Bersyukur? Tentu saja. Bright dan Metawin sangat menikmati yang mereka dapat saat ini. Bisa kembali mengasuh Kai bersama adalah hal yang paling membahagiakan.
“Itu Daddy!”
Pekik Kai saat menangkap kehadiran pria tampan lainnya yang semakin mendekat.
“Bright. Apa kabar?”
Bright sontak berdiri dari duduknya, menyambut sapaan hangat dari Gulf. Keduanya juga saling memeluk singkat. Begitu tenang, tidak tersirat rasa canggung.
“Baik. Sangat baik, kamu apa kabar? Gulf, si CEO sukses.”
Sontak ketiga pria dewasa tersebut terbahak bersamaan. Gulf menggeleng sambil menepuk pundah Bright.
“Saya belum ada apa-apanya dibandingkan, Mr. Bright, CEO beberapa brand besar.”
Ah, seperti ini candaan para pembisnis sukses saat bertemu. Metawin terus menggeleng geli melihat percakapan Bright dan suaminya. Hatinya begitu hangat, sama seperti atmosfer sekelilingnya.
“Ah, saya lupa. Saya minta maaf, tidak bisa hadir di acara pernikahan kalian beberapa bulan yang lalu. Tapi sungguh, Gulf, saya ingin datang. Hanya saja, pengobatan saya yang terakhir bertepatan dengan tanggal kalian menikah.”
Gulf sempat melirik Metawin sejenak, sebelum menanggapi permintaan maaf Bright.
“Its okay, Bright. Saya dan Meta paham dengan kondisi kamu saat itu. Jangan minta maaf, ok?”
“Ck, kalian gak bisa ya, ngomongnya jangan formal gini? Aku ngerasa kayak lagi rapat sama petinggi negara.”
Tawa Bright dan Gulf kembali pecah setelah ucapan Metawin yang protes akibat gaya bahasa antara Bright dan Gulf.
“Belum biasa, Ta. Nanti dibiasakan setelah kerja sama perusahaan.”
Hah, tetap saja bisnis. Batin Metawin.
“Meta belum hamil lagi?” Tanya Bright tiba-tiba.
Kemudian Metawin menggeleng pelan seraya bibir tebalnya yang perlahan mengerucut.
“Mas Gulf masih takut aku belum sepenuhnya stabil. Padahal aku udah siap juga. Kasih tau tuh temen bisnis kamu.”
“Gak mau ah. Aku dukung Gulf, biar bisnis lancar. Tapi kalo kalian punya anak ... Aku boleh ikut anggap dia sebagai anak aku juga? Aku mau ajak liburan Kai sama adiknya nanti.”
Gulf dan Metawin saling melempar senyum tulus. Tak menyangka jika Bright akan meminta demikian.
“Tanpa kamu minta pun, aku sama Mas Gulf memang berniat kenalin kamu sebagai ayahnya yang lain juga, Mas. No need to worry, adiknya Kai berarti anak kamu juga.”
Tak ada yang bisa menjelaskan rasa bahagia yang membuncah dari diri Bright maupun Metawin, bahkan Gulf juga ikut merasa bahagia yang teramat besar.
Seolah kisah kelamnya telah berakhir. Tergantikan dengan kisah yang jauh lebih indah. Semuanya telah berakhir. Sakit dan luka tak lagi dirasakan. Menyisakan harapan akan kebahagiaan yang berlimpah untuk saat ini dan seterusnya.
Bersamaan pula dengan berakhirnya kisah hidup Bright dan Metawin dalam Still Universe.
Terima kasih telah mengikuti jalan panjang Bright dan Metawin. Penuh liku dan duri. Penuh amarah serta tangis. Berharap ada satu atau dua hal yang bisa dijadikan pelajaran kehidupan.
Still by Schreiben_, is officialy end.
06/09/21.